Dalam pertemuan Jamnia itu mereka menetapkan berbagai hal, termasuk tentang kitab suci. Adapun beberapa penetapan mereka tentang Kitab Suci yaitu:
Setelah menetapkan kaidah-kaidah tersebut, bangsa Yahudi hanya menerima kitab-kitab yang memenuhi kriteria itu sebagai kanon. Mereka pun menetapkan kanon baru Kitab Suci Perjanjian Lama yang baru dan menolak tujuh kitab dari Kanon Alexandria yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 dan 2 Makabe, serta tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. Kanon baru yang ditetapkan itu dikenal dengan nama Kanon Jamnia.
Nah, Gereja (waktu itu masih satu) tidak mengakui kanon yang ditetapkan oleh para imam Yahudi itu. Gereja tetap menggunakan kanon Alexandria sebagai daftar kitab suci yang resmi.
Pada tahun 393 Masehi, Gereja menggelar pertemuan di Hippo yang dikenal dengan nama Konsili Hippo, dan pertemuan di Kartago (tahun 397) yang dikenal dengan nama konsili Kartago. Dari kedua konsili itu, Gereja secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari Kanon Alexandria sebagai kanon kitab-kitab Perjanjian Lama.
Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima oleh Gereja. Masing-masing kitab yang ditolak oleh Kanon Jamnia itu tadi dikutib oleh bapa-bapa Gereja sebagai Kitab Suci yang setara dengan kitab-kitab Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja yang dimaksud antara lain: St. Polycarpus, St. Ireneus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus.
Ketika Gereja-Gereja Protestan lahir, mereka menggunakan kitab suci Perjanjian Lama versi Kanon Jamnia. Sedangkan ketujuh kitab yang tidak termasuk dalam kanon Jamnia mereka terima sebagai bacaan suci, namun bukan kitab suci.
Selanjutnya dalam Gereja Katolik, kanon pertama (Jamnia) dikenal dengan nama Protokanonika sebab kanon itu ditetapkan pada awal kekristenan. Sedangkan kanon yang menetapkan ketujuh kitab itu sebagai kitab suci dikenal dengan nama Deuterokanonika yang berarti kanon kedua.
Itulah sebabnya mengapa jumlah kitab suci Perjanjian Lama antara Gereja Katolik dan Protestan berbeda. Gereja Katolik memiliki 7 kitab Perjanjian Lama yang lebih banyak dari Protestan.
Penulis adalah Guru Agama Katolik di SMA Swasta Santu Xaverius Gunungsitoli, Sumatera Utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Filsafat Selengkapnya
Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa meskipun lahir dari "rahim" yang sama, ternyata ada banyak perbedaan antara Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Protestan.
Salah satu perbedaannya adalah jumlah Kitab Suci yang diterima. Perbedaan jumlah Kitab Suci itu khususnya ada dalam Perjanjian Lama. Gereja Katolik memiliki 46 kitab Perjanjian Lama sedangkan Protestan hanya 39 kitab.
Perbedaan jumlah kitab Perjanjian Lama antara Katolik dan Protestan ini sangat terkait erat dengan proses kanonisasi Kitab Suci. Maka untuk membahas perbedaan tersebut, kita harus ingat tentang kanon Kitab Suci.
Kata Kanon berasal dari bahasa Yunani yaitu "canon" yang artinya norma, ukuran dan pedoman. Sedangkan kitab-kitab yang berada dalam kanon disebut kitab-kitab kanonik, yakni kitab-kitab yang telah ditetapkan secara resmi sebagai kanon. Kitab-kitab kanonik tersebut diakui secara resmi sebagai Kitab Suci yang sah dan dijadikan sebagai patokan atau pedoman iman mereka.
Pada awalnya kitab-kitab Perjanjian Lama itu ditulis dalam bahasa Ibarani. Setelah orang-orang Yahudi diusir dari tanah Palestina, mereka tinggal di berbagai tempat dan beranak-cucu di sana. Akibatnya, mereka kehilangan bahasa aslinya.
Banyak keturunan mereka tidak lagi menggunakan bahasa Ibarani, tetapi mereka lebih mengenal bahasa Yunani yang saat itu digunakan sebagai bahasa lintas bangsa (mungkin bisa dikatakan sebagai bahasa internasional saat itu).
Maka dari itulah mereka sangat membutuhkan terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Proyek penerjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani mulai dikerjakan pada masa pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285-246 SM) oleh 70 ahli kitab Yahudi. Mereka adalah wakil dari 12 suku Israel, dan setiap suku diwakili oleh 6 orang ahli kitab.
Proyek penerjemahan ini dikerjakan sekitar tahun 150-125 SM, 25 tahun. Proyek ini dinamakan Septuagint (=septuaginta) yang berarti tujuh puluh (LXX) sesuai dengan jumlah penerjemahnya.
Kitab ini sangat populer dan dikenal sebagai kitab yang resmi. Kitab yang dihasilkan oleh proyek ini disebut Kanon Alexandria karena dikerjakan di Alexandria.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah. Sebaliknya mereka terus berkembang. Pada tahun 100 sesudah Masehi, para imam Yahudi berkumpul di Jamnia, Palestina sebagai reaksi mereka terhadap perkembangan umat Kristen abad pertama itu.
Lihat Filsafat Selengkapnya
JAKARTA, Pena Katolik – Sepintas, Alkitab Katolik dan Protestan terlihat sama, dengan kitab-kitab dasar yang sama dikumpulkan bersama dalam satu volume. Namun, jika dilihat lebih dekat, Alkitab Protestan kehilangan beberapa kitab yang termasuk dalam Alkitab Katolik.
Pertama, orang-orang Kristen tidak memiliki satu pun volume teks yang diilhami selama kira-kira 300 tahun pertama. Penciptaan dan kompilasi Alkitab adalah proses yang panjang. Para pemimpin Gereja mula-mula menyaring banyak manuskrip dan membedakan, menggunakan beberapa kriteria historis, doktrinal, dan teologis yang berbeda, kitab mana yang harus disimpan dan dimasukkan dalam kanon, dan kitab mana yang harus disisihkan.
Perjanjian Lama sebagian besar didasarkan pada terjemahan Yunani dari teks-teks Ibrani yang diterima secara luas sebagai terjemahan yang sah (dan bahkan diilhami). Ini dikenal sebagai “Septuaginta” (dari kata Yunani untuk 70) dan sangat populer di kalangan orang Yahudi berbahasa Yunani.
Persetujuan kitab-kitab mana yang akan dimasukkan dalam Perjanjian Baru dimulai dengan Konsili Laodikia pada tahun 363, dilanjutkan ketika Paus Damasus I menugaskan St. Jerome menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin pada tahun 382, dan diselesaikan secara pasti selama Sinode Hippo (393) dan Kartago (397).
Tujuannya adalah untuk mengabaikan semua karya keliru yang beredar pada saat itu dan menginstruksikan Gereja-Gereja setempat tentang kitab-kitab mana yang boleh dibacakan dalam Misa.
Sebagai hasil dari sinode-sinode ini, Alkitab tetap tidak berubah sampai reformasi Protestan.
Setelah abad ke-16, setiap pemimpin Protestan utama memiliki interpretasi yang berbeda mengenai iman Kristen dan peran Alkitab. Ini mengarah pada proses di mana berbagai kitab dalam Alkitab dihapus karena “ketidaksesuaian” mereka dengan kepercayaan Protestan.
Selanjutnya, Protestan biasanya menggunakan daftar kitab-kitab Perjanjian Lama yang disetujui oleh para sarjana Ibrani di kemudian hari, mungkin pada abad ke-2 atau ke-3 Masehi. Katolik, di sisi lain, menggunakan Septuaginta Yunani sebagai dasar utama untuk Perjanjian Lama.
Ini berarti bahwa Alkitab Protestan hanya memiliki 39 kitab dalam Perjanjian Lama, sedangkan Alkitab Katolik memiliki 46. Tujuh kitab tambahan yang termasuk dalam Alkitab Katolik adalah Tobit, Judith, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan, Sirakh, dan Baruch. Kanon Katolik juga mencakup bagian dari Kitab Ester dan Daniel yang tidak ditemukan dalam Alkitab Protestan.
Beberapa Alkitab Protestan masih memasukkan kitab-kitab ini, sementara yang lain tidak. Karena ada banyak denominasi Protestan di seluruh dunia, daftarnya bervariasi sesuai dengan praktik masing-masing gereja Kristen.
Bapak Pengasuh, Saya ingin menyampaikan pertanyaan seputar apa yang saya amati dari teman-teman di Katolik,yaitu:1. Mengapa Katolik tetap memakai cara doa dalam tri tunggal seperti menyalibkan diri (tiga titik: kepala, bahu kiri dan kanan) sedangkan Protestan tidak.2. Mengapa Katolik salibnya selalu ada patung Yesus, sementara Protestan tidak. Demikian pertanyaan saya, semoga Bapak dapat menolong saya untuk memahami hal ini. Salam
Benyamin TambubolonPalembang
Benyamin yang dikasihi Tuhan, menyenangkan bisa berinteraksi dengan anda melalui Tabloid tercinta, Reformata. Saya berharap selama menjadi pembaca, anda mendapatkan banyak berkat dan percerahan atas kehadiran Reformata. Jarak yang jauh, antara Jakarta dengan Palembang tak menghalangi kita untuk saling menyapa lewat rubrik ini. Pertanyaan anda mengenai doa umat katolik yang Anda sebut sebagai doa dalam tri tunggal, lalu membandingkannya dengan ritual doa protestan, menurut Saya cukup menggelitik dan layak untuk kita ulas, dengan harapan, semakin memperkaya wawasan pikir kita bersama. Karena menjadi sebuah perenungan yang penting, apakah jika protestan tidak melakukan, maka yang melakukan menjadi salah. Atau tidak lazim? Saya pikir sebuah cara doa bukanlah sebuah keharusan, tetapi berdoa, ya. Artinya, berdoa memang harus. Semua orang Kristen sudah seharusnya berdoa kepada Allah yang maha kuasa. Ini tidak bisa dibantah dan saya percaya, umat katolik dan protestan pasti sama sikapnya dalam hal ini. Di dalam Perjanjian Lama (PL), tentang apa itu doa sangatlah jelas. Umat bergumul dalam doanya kepada Allah. Ada doa berupa permintaan (kebutuhan hidup, atau perlindungan), atau juga doa pengakuan dosa (pribadi atau bangsa). Sementara dalam Perjanjian Baru (PB) Tuhan Yesus bahkan secara khusus mengajarkan Doa Bapa kami (Matius 6:9-13). Rasul Paulus juga mengingatkan orang percaya agar berdoa senantiasa. Tidak berbeda, Yakobus juga berkata; Doa orang benar besar kuasanya (Yakobus 5:16). Nah, sekarang soal cara berdoa. Di dalam PL umat Israel berdoa dengan mengangkat tangannya keatas. Dan, Yunus di dalam perut ikan (Yunus 2: 1), pastilah dalam posisi terlentang atau tengkurap. Hizkia berdoa dengan memalingkan wajahnya (2 Raja-raja 20: 2). Sementara Tuhan Yesus di gambarkan dalam kitab Matius berdoa dengan bersujud (Matius 26: 39). Artinya, ada banyak cara berdoa di dalam Alkitab. Tampaknya selalu berkaitan dengan suasana hati atau peristiwa yang ada di sekitar orang yang berdoa. Tuhan, tak marah atau mencela cara berdoa umat Nya. Celaan Tuhan terhadap doa lebih terkait dengan sikap hati yang munafik. Tampak berdoa tapi bukan dengan kerendahan hati, malah sebaliknya, agar dipuji orang. Orang Farisi seringkali dikritik Yesus Kristus soal kemunafikan ini. Jadi jelas sekali, Alkitab mengajarkan kita harus berdoa, sementara cara berdoa adalah kekayaan ekspresi. Katolik berdoa dengan simbol Tri tunggal (atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus), bagi saya sangat indah. Iman terhadap Allah Tri tunggal diwujudkan dalam cara doa. Sebuah pengakuan atas kasih Allah yang menebus kita melalui Kristus dan dengan pertolongan Roh kudus, sehingga karya keselamatan sejati dari Allah Tri tunggal menjadi nyata dalam kehidupan ini. Tak ada yang salah dengan cara ini, sekalipun cara ini tak membuat doa menjadi luar biasa, melainkan sikap hatilah yang mutlak penting. Sementara protestan yang tidak melakukannya, ini lebih karena perjalanan sejarah. Ada benturan teologis yang memang prinsip pada waktu lampau. Namun persoalan teologis yang prinsip sering merembet hingga soal cara yang sesungguhnya tidak prinsip. Untuk itu alasan pembenaran pun dibuat. Sama seperti umat protestan, sama-sama menyanyi memuji Tuhan, tapi ada yang tepuk tangan dan ada yang tidak. Padahal, ini lebih soal kultural, bukan doktrinal yang prinsip. Jadi umat katolik berdoa dengan tanda Tri tunggal, dan protestan tidak, itu karena persoalan perbedaan di masa lalu. Dan itu meliputi banyak aspek, hingga pemakaian lilin dalam doa dan lain sebagainya. Semangatnya, pokoknya berbeda. Padahal, ini bukan persoalan yang prinsip, tapi dibuat menjadi prinsip. Persoalan masa lalu janganlah kiranya mengganggu di masa kini. Dan sudah waktunya, kita saling belajar dan menikmati kekayaan yang indah dalam perbedaan yang ada. Bagi saya pribadi, berdoa dengan tanda Tri tunggal itu tak masalah. Hanya saja, sebagai seorang protestan saya tak perlu membuat masalah baru lagi diinternal protestan, dengan berdoa dan mengakhirinya dengan tanda Tri tunggal. Ingat, karena ini bukan soal yang prinsipil. Dalam lingkungan umat protestan sendiri pun cara berdoa sangat beraneka ragam, bahkan kontras, sekalipun tidak memakai tanda Tri tunggal. Di lingkungan umat protestan ada yang berdoa dengan tangan terangkat ke atas. Lalu ada dengan tangan yang menengadah. Ada yang berlutut, dan ada juga yang berdoa dengan mata terbuka. Juga ada yang selalu menangis setiap kali berdoa. Semua mempunyai alasan, namun bukan alasan yang prinsip.Begitu juga dengan soal salib. Simbol Salib di kalangan umat protestan umumnya tidak dibuat gambar atau wujud Yesus dengan alas an, Yesus tidak tersalib lagi melainkan sudah bangkit. Dia tidak ada di salib, ini alasan yang dipakai. Alasan ini masih bisa diperpanjang. Sementara bagi umat katolik, Yesus tersalib memang adalah fakta yang ada dan bukti kasih dalam penebusan dosa. Lagi-lagi, sejatinya, tidak ada yang prinsip. Tapi kembali sentimen masa lalu yang memunculkan semangat, pokoknya harus beda. Memang masih ada perbedaan doktrinal yang tergolong prinsip yang masih menjadi PR bersama. Tapi jangan lupa, di kalangan umat protestan perbedaan denominasi juga diwarnai perbedaan doktrin yang cukup serius. Karena itu soal perbedaan ritual dan doktrinal harus dibagi dengan jelas, dan jangan membuatnya menjadi rancu. Diperlukan kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk saling belajar, tanpa harus terkurung oleh bayang-bayang masa lalu. Tanpa disadari, sebetulnya perbedaan itu tampak sirna pada banyak sisi. Misalnya soal salib yang ada Tuhan Yesus, ada banyak gereja protestan yang menggunakannya. Apalagi jika berbicara soal lukisan, sangat banyak lukisan Yesus yang tersalib dilingkungan protestan. Jika konsisten dengan konsep Yesus sudah tidak tersalib lagi karena sudah bangkit, maka lukisan pun seharusnya tidak boleh. Nah, jelas sekali ini soal masa lalu dan bukan soal prinsip. Karena itu, lewat pertanyaan saudara Benyamin, mari kita jadikan ini momentum pembelajaran. Belajar berdialog dan bersahabat antara umat katolik dan umat protestan yang sama-sama mengaku pengikut Yesus Kristus. Tak lagi terjebak membesarkan perbedaan masa lalu, namun wajib mempelajari latar belakangnya. Menemukan makna yang sesungguhnya, sejarah yang sebenarnya, dan mereformasi gereja secara bersama, baik dilingkungan gereja katolik maupun protestan. Belajar mendekatkan diri, karena itulah ciri-ciri khas dari gereja sebagai tubuh Yesus Kristus yang sejati. Perbedaan bukanlah malapetaka, bisa jadi itu kekayaan yang tersembunyi. Namun, di saat yang bersamaan perbedaan yang prinsipil memang tak bisa diabaikan begitu saja. Harus dijadikan bahan diskusi, dan belajar menemukan kebenarannya di dalam Firman Tuhan, biarlah Firman Tuhan yang menjadi alat ukur terhadap semuanya. Bukankah itu indah?Akhirnya, Benyamin yang dikasihi Tuhan, selamat menikmati perbedaan yang ada. Sangat perlu kita belajar dengan hati-hati untuk mencermati dan membagi mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Marilah kita saling memperkaya dalam perbedaan yang tidak prinsip dan berdiskusi dengan ramah untuk hal yang prinsip. Indah bukan. Tuhan memberkati kita semua.
Kemarin, 20 Juni 2023 saya mendapat sebuah info yang cukup mengejutkan. Melalui WA, seorang ibu memberitahukan bahwa anaknya yang selama ini mendapatkan dana ASAK Gregorius (Ayo Sekolah-Ayo Kuliah), sudah menyatakan diri untuk keluar dari Gereja Katolik. Anaknya sudah dibaptis beberapa waktu yang lalu di salah satu gereja Kristen Protestan. Dari informasi yang saya peroleh ini, sempat saya bertanya lanjut pada ibunya, mengapa begitu gampang tergoda untuk masuk Protestan? Jawaban dari ibunya bahwa itu sudah menjadi panggilan. Panggilan? Saya mencoba merenung sejenak, model panggilan seperti apa yang diterima oleh anaknya itu.
Secara pribadi tentu keputusan ini mengecewakan saya dan teman-teman pengurus ASAK yang selama ini berjuang untuk menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah atas. Saya cukup tahu kondisi ekonomi keluarga yang rapuh karena hantaman Covid. Atas kondisi ekonomi yang lemah inilah maka saya memberanikan diri untuk mengikutsertakan anaknya ke ASAK Gregorius. Menurut pengakuan ibunya bahwa ASAK sangat membantu anaknya untuk meringankan beban keuangan keluarga. Jerih payah para pengurus ASAK ini berakhir dengan kekecewaan karena anaknya lebih memilih gereja lain ketimbang Gereja Katolik.
Peristiwa yang dialami oleh salah satu anggota ASAK menggugah saya untuk berdiskusi dengan salah seorang pengurus PSE Paroki Kutabumi. Menurut pantauannya bahwa banyak umat Katolik, sejak pandemi mulai mencari gereja lain (Gereja Kristen Protestan) untuk beribadah. Tak hanya kegiatan doa dan ibadah saja yang dicari tetapi juga tawaran bahan kebutuhan pokok menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Cukup banyak orang Katolik tetap bertahan sebagai umat Katolik tetapi juga mengikuti kegiatan di gereja Prostestan. Mereka bermain “dua kaki” untuk mendulang bahan kebutuhan hidup. Dari obrolan ini memunculkan sebuah pertanyaan. Begitu gampangnya orang Katolik berpindah ke agama lain hanya karena diiming-iming sembako dan kebutuhan lain?
Dari penuturan lepas dengan beberapa orang, banyak orang, baik Katolik maupun Kristen Protestan menganggap sama antara kedua agama ini. Pemahaman yang minim ini akan memberikan dampak yang kurang baik pada penerapan hidup keagamaan. Apa bedanya antara agama Katolik dan Kristen Protestan?
Harus dipahami perbedaan mendasar secara teologis antara Katolik dan Protestan. Marthin Luther (1483-1546) menjadi tokoh penting karena berhasil memisahkan diri dengan Gereja Katolik dan mendirikan gereja sendiri. Beberapa catatan sederhana ini mungkin membantu pembaca untuk memahami perbedaan mendasar dan tidak lagi memandang sama kedua agama ini.***(Valery Kopong)